Cari Blog Ini

Jumat, 22 April 2011

KONSEP PENYALAHGUNAAN WEWENANG DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI


A.    Unsur Delik Penyalahgunaan Wewenang dan Inkonsistensi Perumusannya

1.      Unsur Delik Penyalahgunaan Wewenang
Unsur delik penyalahgunaan wewenang tercantum didalam pasal 3 UU PTKP yang unsur-unsurnya yaitu :
a)      Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi
b)      Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan
c)      Yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Ø  Add.a. unsur “dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu koorporasi
              Unsur subyektif yang melekat pada batin si pembuat menurut pasal 3 UU PTKP ini merupakan tujuan si pembuat dalam melakukan perbuatan menyalahguanakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yakni untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu koorporasi. Menurut Andi Hamzah maksudnya unsur ini adalah sengaja tingkat I (sengaja sebagai maksud atau opzet met oogmerk).
              Dalam pasal 3 UU PTKP tidak secara eksplisit merumuskan kata “sengaja”, oleh karena itu penuntut umum tidak perlu pula secara eksplisit membuktikan bahwa perbuatan “dengan tujuan menguntungkan....” disengaja atau karena kealfaan. Hal yang penting untuk dibuktikan adalah dengan perbuatan penyalahgunaan wewenang bertujauan dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri, orang lain atau suatu koorporasi.
Ø  Add.b. Unsur “menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena kedudukan atau jabatan”.
              Penyalahgunaan wewenang dimasukkan sebagai bagian inti delik (bestanddeel delict) tindak pidana korupsi sejak Peraturan Penguasa Militer tahun 1957 sampai sekarang. Dalam tahun-tahun tersebut tidak ada penjelasan lengkap tentang penyalahgunaan wewenang sehingga menimbulkan implikasi interpretasi yang beragam.
              Didalam referensi hukum sering dijumpai pemakaian istilah “melawan hukum”(wederrechtelijkheid) dan “melanggar hukum”(onrechtmatigedaad). Penggunaan istilah sering tertukar pemakaiannya. Istilah melanggar hukum lazim dipergunakan dalam ranah hukum perdata, sedangkan “melawan hukum” dalam hukum pidana. Dalam hukum pidana dibatasi dalam pasal 1 ayat 1 KUHP yaitu berupa asas legalitas, sedangkan “melanggar hukum” lebih luas cakupannya.
              Didalam praktek peradilan unsur “menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, sarana yang ada padanya karena kedudukan atau jabatan......” dipandang sebagai unsur yang sifatnya alternatif. Pendapat tersebut dapat dilihat pada Putusan Mahkamah Agung R.I No. 934/Pid/1999 tanggal 28 Agustus 2000 yang menyatakan unsur menyalahgunakan kewenangan, menyalahgunakan kesempatan, dan menyalahgunakan sarana merupakan unsur yang berdiri sendiri atau bersifat alternatif.
Ø  Add.c. Unsur “dapat merugikan Keuangan Negara atau perekonomian negara
              Konsekuensi delik dirumuskan secara formiel yang dipentingkan adalah perbuatannya, bukan akibatnya seperti perumusan delik materiel. Pada delik formiel tidak perlu dicari kausal (conditio sine quanon) antara akibat dan perbuatan, yang paling penting adalah perbuatan melawan hukum atau tidak.
Pengertian keuangan negara dapat dilihat dalam penjelasan umum UU PTKP yang dinyatakan sebagai berikut ; “yang dimaksud dengan keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena :
ü  Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat negara, baik ditingkat pusat maupun daerah.
ü  Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban BUMN, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara.
              Rumusan “Perekonomian negara” yang sangat fleksibel dan luas cakupannya. Misalnya, melakukan penimbunan beras, pupuk, BBM dan lain sebagainya dapat dikenakan UU PTKP karena mempunyai dampak terganggunya perekonomian negara.

2.      Inkonsistensi Perumusan Delik Penyalahgunaan Wewenang
              Dalam perumusan pasal 3 UU PTKP telah terjadi inkonsistensi antar unsur dalam delik tersebut. Letak inkonsistensi tersebut terjadi antar unsur delik yang pertama yaitu “dengan tujuan untuk Menguntungkan diri sendiri....” dengan unsur yang ketiga “dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”. Unsur delik yang pertama dirumuskan secara materiel, artinya dengan penyalahgunaan wewenang, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan/kedudukan, pelaku (diri sendiri), orang lain atau koorporasi terjadi penambahan kekayaan. Adanya penambahan kekayaan pada mereka disatu sisi, di sisi lain keuangan negara atau keuangan negara telah mengalami kerugian. Disini ada hubungan conditio sine quanon antara keuntungan (bertambahnya kekayaan) pelaku, antara orangang lain dengan kerugian pada pihak ketiga yaitu negara.
              Tindak pidana korupsi tidak selalu mengakibatkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara, hal tersebut hanya bisa terjadi terikat dengan perihal penyuapan terhadap pegawai negeri/penyelenggara negara/hakim/advokat (pasal 5,6,11, dan 12 UU PTKP), tetapi dalam kaitannya dengan pasal 2 dan pasal 3 UU PTKP secara materiel harus ada kerugian terhadap keuangan negara atau perekonomian negara.
3.      Sifat Inhaeren Penyalahgunaan Wewenang dan Melawan Hukum
              Dalam pasal 3 UU PTKP perumusan deliknya tidak ada unsur “melawan hukum”, namun yang ada adalah unsur “menyalahgunakan kewenangan”, terkait dengan hal tersebut, pertanyaannya yang dapat diajukan adalah : “apakah penyalahgunaan wewenang in haeren (sama) dengan melawan hukum dalam tindak pidana korupsi? Secara implisit penyalahgunaan wewenang inhaeren dengan melawaan hukum, karena penyalahgunaan wewenang essensinya merupakan perbuatan melawan hukum. Unsur “melawan hukum” merupakan “genus”nya, sedangakan “penyalahgunaan wewenang” adalah “spesies”nya.
              Sifat in haeren penyalahgunaan wewenang dan melawan hukum tidaklah berarti unsur “melawan hukum” terbukti tidak secara mutatis mutandis “penyalahgunaan wewenang” terbukti, tetapi untuk sebaliknya unsur “penyalahgunaan wewenang” terbukti maka unsur “melawan hukum” tidak perlu dibuktikan karena dengan sendirinya unsur “melawan hukum” telah terbukti. Dalam hal unsur “penyalahgunaan wewenang” tidak terbukti maka belum tentu unsur “melawan hukum” tidak terbukti.
              “Penyalahgunaan wewenang” dalam pasal 3 UU PTKP diperuntukkan bagi subyek/pelaku delik pejabat atau pegawai negeri. Hal tersebut berbeda dengan “melawan hukum” dalam pasal 2 UU PTKP, dimana dalam pasal ini “setiap orang” meliputi oranga atau korporasi, khusus untuk subyek delik orang meliputi semua orang minus/tidak termasuk pejabat atau pegawai negeri.

B.     Penyalahgunaan Wewenang Menurut Konsep Hukum Administrasi
1.      Wewenang
a.      Pengertian Wewenang
              Istilah wewenang atau kewenangan disejajarkan dengan “authority” dalam bahasa Belanda. Kewenangan atau wewenang adalah kekuasaan hukum, hak untuk memerintah atau bertindak, hak atau kekuasaan pejabat publik untuk mematuhi aturan hukum dalam lingkup melaksanakan kewajiban publik.
              Wewenang sebagai konsep hukum publik sekurang-kurangnya terdiri dari 3 (tiga) komponen yaitu :
§  Pengaruh, yaitu bahwa penggunaan wewenang dimaksudkan untuk mengendalikan perilaku subyek hukum.
§  Dasar hukum, yaitu bahwa wewenang itu selalu ada dasar hukum
§  Konformitas hukum, yaitu adanya standar wewenang maupun itu standar umum maupun standar khusus

b.      Sumber lahirnya wewenang
              Sejalan dengan pilar utama negara hukum yaitu asas legalitas, atas dasar prinsip tersebut bahwa wewenang pemerintahan berasal dari peraturan perundang-undangan. Dalam kepustakaan  hukum administrasi terdapat dua cara untuk memperoleh wewenang pemerintahan yaitu atribusi dan delegasi, kadang-kadang juga mandat ditempatkan saebagai cara tersendiri untuk memperoleh wewenang.
              Ada perbedaan yang yang mendasar antara kewenangan atribusi dan delegasi. Pada atribusi, kewenangan yang siap ditransfer, tidak demikian dengan delegasi. Dalam kaitan dengan asas legalitas kewenangan tidak dengan didelegasikan secara besar-besaran, akan tetapi hanya mungkin di bawah kondisi bahwa peraturan hukum menentukan mengenai kemungkinan delegasi.

c.       Pertanggungjawaban Pemberi dan Penerima Wewenang dalam Hal Terjadi Penyalahgunaan Wewenang.
              Pertanggungjawaban mandat bersumber dari persoalan wewenang, karena wewenang tetap berada pada mandans (pemberi wewenang) sedangkan mandataris (penerima wewenang) hanya dilimpahi wewenang bertindak untuk dan atas nama mandans. Pada mandat tidak terjadi penyereahan wewenang, artinya mandans tetap dapat bertindak sendiri atas namanya. Tidak adanya penyerahan wewenag pada mandat maka yang bertanggungjawab secara yuridis tetap pada mandans.
              Pada konsep atribusi wewenang pertanggungjawaban secara yuridis oleh si penerima wewenang, tergantung pada si penerima wewenang melakukan mandat atau delegasi.
              Dalam delegasi, pekerjaan yang didelegasikan diserahkan sebagian atau seluruh wewenang kepada penerima delegasi (delegataris) untuk bertindak melaksanakan pekerjaan tersebut atas namanya sendiri. Pada delegasi disertai dengan penyerahan wewenang, oleh karenanya jika terjadi penyalahgunaan wewenang oleh delegatoris maka yang bertanggungjawab adalah delegatoris.
2.      Parameter Penyalahgunaan Wewenang
a.      Asas Spesialitas
              Secara substansial specialialiteitsbeginsel mengandung makna bahwa setiap kewenangan memiliki tujuan tertentu. Dalam kepustakaan hukum administrasi sudah lama dikenal asas zuiverheid van oogmerk (ketajaman arah dan tujuan). Menyimpang dari asas ini akan melahirkan “detournement de pouvoir”.
              Asas specialitas merupakan suatu asas yang menjadi landasan bagi keweenangan pemerintah untuk bertindak dengan mempertimbangkan pada suatu tujuan. Setiap kewenangan pemerintah diatur oleh peraturan perundang-undangan dengan suatu tujuan tertentu dan pasti. Dari sudut hukum administrasi specialialiteitsbeginsel tersebut dinyatakan sebagai suatu rangkaian peraturan yang berkaitan dengan kepentingan umum.
b.      Asas Specialitas kaitannya dengan Asas Legalitas
              Pemerintah hanya dapat melakukan perbuatan hukum jika memiliki legalitas atau didasarkan pada undang-undang yang merupakan perwujudan aspirasi warga negara. Dalam negara demokrasi, tindakan pemerintah harus mendapatkan legitimasi dari rakyat secara formal tertuang dalam undang-undang.
              Asas legalitas merupakan dasar bagi pemerintah untuk bertindak dalam mencapai tujuan tertentu. Pemberian wewenang kepada pemerintah diberikan dengan sarana peraturan perundang-undangan.
Asas legalitas asal katanya dari kata lex (undang-undang). Asas legalitas didalam hukum pidana, artinya seseorang dapat dipidana berdasarkan ketentuan legislasi. Dallam sistem ketatanegaraan Indonesia, produk legislasi adalah undang-undang dan peraturan daerah.
c.       Asas Specialitas Kaitannya dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik
              Asas-asas umum pemerintahan yang baik merupakan “levende beginsel” jadi berkembang menurut praktek khusus melalui putusan peradilan. Asas-asas umum pemerintahan yang baik sebagai aturan yang tidak tertulis dipandang sebagai etika yang hidup dan berkembang dalam lingkungan hukum administrasi.
              Dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan asas-asas umum pemerintahan yang baik meliputi antara lain :
1)      Larangan penyalahgunaan wewenang (“detournement de pouvoir”)
2)      Larangan sewenang-wenang (“willekeur”)
              Berdasarkan pendapat Philippus M Hadjon, asas “behoorlijk” yang banyak diterapkan dalam praktek Peradilan Tata Usaha Negara meliputi :
1)      Asas kecermatan
2)      Asas persamaan
3)      Asas larangan penyalahgunaan wewenang
4)      Asas larangan sewenang-wenang.
              Asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB) dalam hukum positif Indonesia dapat dikemukakan dalam pasal 53 ayat 2 UU Nomor 5 Tahun 1986 jo. UU Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang meliputi :
1.      Bertentangan dengan peraturan dengan peraturan perundang-undangan
2.      Bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
              Asas-asas umum penyelenggara negara dalam pasal 3 UU Nomor 28 Tahun 1999 meliputi :
1)      Asas kepastian hukum
2)      Asas tertib penyelenggara negara
3)      Asas kepentingan hukum
4)      Asas keterbukaan
5)      Asas proporsionalitas
6)      Asas profesionalitas
7)      Asas akuntabilitas

3.      Penyalahgunaan wewenang Dalam “Diskresi”
Kekuasaan bebas atau kekuasaan diskresi meliputi ;
1)      Kewenangan memutus sendiri
2)      Kewenangan interpretasi terhadap norma-norma tersamar (vage Normen)
Parameter penyalahgunaan wewenang pada jenis wewenang terikat menggunakan peraturan perundang-undangan, asas legalitas. Sedangkan kewenangan diskresi menggunakan asas-asas umum pemerintahan yang baik.